Camelia


Lagi-lagi, ini berbicara tentang setangkai Camelia dengan keraguannya yang terus berulang. Sudah dihempas, disingkirkannya ke sabana di bagian terluar pulau singgasana, masih pula kembali, sebut saja badai.

Hai, aku Camelia, dengan beragam kelopak aku mampu berdiri tegak. Aku kuat, sekuat tebing kapur yang hanya terkikis saja ketika diterpa angin malam. Jangan dengarkan dia yang berusaha menceritakan kisahku, biarkan aku langsung menjadi penutur ceritaku sendiri. Aku tangguh, setangguh pantai yang terus ada meski diterjang ombak tanpa jeda. Ku biarkan laut menatapku iri karena selalu menjadi tujuan akhir sang gelombang, dasar! Dia tidak tahu saja bagaimana rasanya seakan-akan menjadi peristirahatan padahal hanya sekadar persinggahan. Aku berani, tak ku halangi setiap serangga yang menghampiri. Entah hanya menoleh, menyapa, berusaha memangkas jarak hingga berhasil menghilangkannya. 

Sialnya, lagi-lagi ini hanya tuturan Si Camelia. Bunga yang tumbuh tepat di belakang rumahku. Dia sendu, tertawa seiring hujan dan muram ditinggalkan gerimis berharap bau khas tanah saat hujan kembali datang. Camelia tertiup angin, dia memang sulit terbuai, susah berlenggak layaknya bunga hias kebanyakan, bukan tanpa sebab.

Lagi-lagi kukatakan, Camelia ingin mematahkan keraguannya kepada sosok badai. Aku tidak pernah tahu pasti siapa badai sebenarnya, jangankan raga, rupanya pun bagai menggapai planet dan menjangkau galaksi. Pernah sekali ku perhatikan kala itu lembayung senja mewarnai semesta, Camelia tersenyum indah merekah bermandikan cahaya oranye. Berhasil! Badai mulai tergambar seiring matahari yang mulai menghilang di ufuk barat, siluetnya semakin jelas terlihat. 

Sialnya, lagi-lagi hilang. Sedikit lagi padahal. Ku sesap lagi minuman yang entah bagaimana menyebutnya, rasanya seperti teh hijau, tapi esensinya bagai menikmati kopi, mungkin ini akibat suasana pergantian antara sore dan malam yang selalu menghanyutkan insan di muka bumi. 

Suatu ketika, di waktu senggang yang sedikit banyak, ku langkahkan tapak melewati rerumputan hijau menghampiri sosok misterius yang selalu ku perhatikan kurang lebih hampir sembilan belas tahun ini. Dari kejauhan ku lihat dia memandangi langit biru berhiaskan pipit yang kegirangan, menari kesana-kemari. Tepat sekali, dia jauh lebih baik ketimbang kemarin dan kemarin-kemarinnya lagi dalam bulan-bulan hujan ini. Aku beranikan bertanya kepada dia yang tak hiraukan kedatanganku, tumpukan pertanyaan yang sudah rapi di rak otakku, ku raih satu per satu. Dia menoleh, bukan melirikku alih-alih melihat kopi yang rasa-rasanya seperti teh hijau di tangan kananku. Hening dipenuhi oksigen yang ikut-ikutan canggung. Camelia menolak intermezo, satu pertanyaan pertama lolos dari cekatan tenggorokan. Camelia mau menjawab! Ajaib!

Sudahlah, jangan penasaran kau apa saja obrolan kami. Dia tidak mau aku menceritakan detailnya. Tapi, Camelia setuju kau mendengarkan ini dari diriku, entahlah mungkin sosoknya terlalu piawai untuk menceritakan bagian ini, bagaimana? Kau tertarik? Baiklah, sebelumnya aku ingin berdecak kagum, dia memang setangguh itu. Dia ksatria yang tetap indah melawan tetes hujan. Dia bagai kuda hitam yang setia melawan keheningan malam, ah dia memelototiku sekarang. 

Oh ini saatnya kusampaikan, jadi semua ini tentang 'badai' begitu Camelia menyebutnya. Dia tidak pernah percaya akan datangnya badai tanpa menerjang relung hatinya. Ke sekian kalinya, Camelia dihantam keraguan dan percaya yang terus-menerus kabur. Dia ragu, ketakutan terus menghakiminya. Bertanya-tanya pada cicit burung namun tak ada jawaban. Camelia menjelaskan langsung, semua bukan tanpa sebab, dia tidak semelankoli itu jikalau membahas romansa seperti ini. Camelia sudah dihantam badai yang menyakitkan lebih dari sekali, dua kali, dia tidak menyebutkannya padaku, percayalah. Intinya, susah sekali Camelia untuk tersenyum ketika dingin mulai menyusup. Entah siapa yang jahat, Camelia sudah tersenyum malah dibuat luruh kembali oleh Sang Badai yang ke berapa? Camelia tidak mengucapkannya, sudah kita terka-terka sajalah bagaimana terkutuknya badai-badai itu. Alhasil sosok sepertinya menjadi sulit menggali dan menemukan kepercayaan akan hadirnya badai tanpa rasa sakit. Bagai menemukan mutiara di samudera, Camelia membiarkan saja suatu saat hadir badai dengan pelanginya.

Aku pamit dengan Camelia, ku sentuh kelopaknya yang indah. Berbalik badan dengan secangkir yang sudah dipenuhi udara saja. Telapak kakiku merasakan rerumputan yang bersorak mengucapkan selamat karena akhirnya membuat Camelia bersuara juga. Tapi ya begitulah kiranya. Aku tutup pintu dan melambai ke arah Camelia yang terlihat mulai dirasuki hawa dingin lagi untuk ke sekian kalinya, berdoalah itu badai yang diinginkannya.

Camelia, sukma.

-R.an-
Picture Source : https://pin.it/4H5TdR6


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jeda

Terbit Rela