Persimpangan


Suatu kala di bulan Juli yang sedang dingin-dinginnya, gadis bergaun putih selutut menyusuri jalan setapak yang sudah tiga tahun belakangan ini selalu ia lewati. Senyap, binatang malam memilih bisu menyaksikan gadis dengan mawar merah yang sedikit layu berjalan menuju tepian pantai. Ia pun berhenti setelah dirasanya cahaya bulan yang tak seberapa terang itu mampu menyentuh dasar lerung jiwanya.

Tanpa basa-basi rumit, pada kelam berteman badai, ia menjerit dalam diam. Mengadu tentang amarah tak berlandas tentang percaya yang berbalas keraguan, tentang musabab yang tidak tahu di mana letaknya, tentang rasa yang dipaksa usai sebab kemungkinan-kemungkinan yang tidak nyata adanya! Enyahkan ujar-nya! Sungguh terbakar mawar milik Sang Gadis tatkala kata-kata itu mencuat dari seseorang yang juga berada pada jalan yang sama dengannya saat temaram lara malam itu.

Tidak masuk akal! Teriaknya.

Kepada semesta yang telah ikut campur perihal patahku, aku harus bagaimana? Menggantikan runtuh dengan ikhlasku? Membiarkan yakinku luruh bersama ragu yang bukan milikku? Membebaskan waktu yang seenaknya mempermainkan aku? Mengatakan bahwa luka yang menganga lebar itu bisa sembuh hanya dengan kata ‘selesai’ yang jelas-jelas menghancurkan pilar-pilar penyanggaku? Omong kosong!

Sayangnya semua bias, tak berhak semua kalimat-kalimat itu dipelihara apalagi tersampaikan kepada dia yang mengutamakan bahagia milik Sang Gadis. Ia kemudian berdecak, “Padahal dia tahu betul bahwa bahagiaku milikku, dia tidak punya tanggung jawab akan itu.”

Mungkin baginya, berpisah pada persimpangan jalan setapak itu membuat dirinya dan diriku mampu memahat cerita baru yang lebih indah nantinya. “Padahal ia tahu bahwa hal-hal mengerikan yang ada di kepalanya itu miliknya, aku tidak bertanggung jawab akan itu.”

Mawar merah yang semakin layu terus digenggam erat, gadis tak bernama menatapnya dalam, membayangkan semua angan yang mendadak terjun ke palung terdalam antariksa. Ia terus mencoba menyelaraskan pikirannya dengan apa-apa yang menjelma kelabu, dengan siapa-siapa yang menciptakan pilu membiru, serta dengan hari esok yang tak mengizinkannya dan ‘dia’ untuk berada pada satu iring yang sama.

Ingin rasanya dia mencaci habis-habisan tembok baja yang terlampau lama utuhnya, namun ia tahu bahwa perkara menjadi genap siapa yang bisa tahu kapan tibanya? Ingin sekali ia tahan langkah kaki yang memilih pergi, namun ia juga tahu bahwa perkara menyudahi yang tak ingin disudahi bukan main sakitnya.

Hingga akhirnya pada denting ke sekian, Sang Gadis menghela napas panjang lalu berbalik badan. Ia tersenyum pada 'ketidaktahuan' yang masih membingungkan, ia membinarkan matanya kepada langit yang dengan kejamnya membuat ia bertanya-tanya, tentang apakah semua akan menjadi mudah? Untuk dirinya? Untuk diriku? Apakah silu yang kami setujui bersama untuk mekar ini akan bertemu penawarnya ketika pagi datang menjemput tangis yang dengan riuhnya menari-nari malam kemarin? Apakah suatu saat nanti semua tanda tanyaku ini akan bertemu dekap tanpa harus dibekap khawatir lagi?

Sang Gadis pergi, memeluk mawar merah miliknya yang menolak mati, biarkan tetap tumbuh hingga waktunya tiba ia harus hilang dari bumi, gugur, atau bahkan bernyawa kembali pada jalan setapak yang lebih sejuk, lebih kuat.

Ia menatap jalan tersebut, tepatnya pada persimpangan yang tiba-tiba membuat ruang hatinya terdiam, hening.

Pada semua ketidakpahamanku, akan kuberitahu caranya memahami hal-hal yang memang tidak harus untuk dipahami.
Pada kamu yang mencemaskan perasaanku, tak apa sudahilah, karena itu sepenuhnya urusanku.
Pada aku yang menggelisahkan perasaanmu, cukup tenangkan diriku dengan menjaga dirimu sebaik yang kamu bisa.
Pada semua kata 'kita’ yang mungkin akan menjadi indah ketika bisa kembali dieja suatu hari nanti, aku coba untuk mengerti bahwasanya biarkan semua mengalir sebagaimana mestinya.

Percayaku, bahwa milikku akan selalu jadi milikku.
Percayaku, bahwa sejauh apapun kamu berlayar, 
jika pelabuhanmu adalah aku, 
maka kamu, pasti akan berlabuh di aku.

-R.an

Picture source: https://id.pinterest.com/pin/238550111492467719/

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Camelia

Jeda

Terbit Rela